Jatuh Cinta Seperti di Film-Film : Sebuah Experience

Kemarin aku cerita ke Dimas kalo lagi stuck gak nemu ide nulis, tapi lagi pengen nulis. Dimas menanggapi dengan santai dan memberi usul untuk nulis film yang kita tonton seminggu lalu. Film lokal pertama yang kita tonton di bioskop, biasanya kita nonton streaming. Saat film ini rilis akhir november kemarin aku langsung mengajak Dimas nonton bareng. Dengan membagikan tweet dari sebuah akun sinefil dan sedikit membujuk. “Minggu depan kita nonton film ini ya!?” Dia, seperti biasa, mengiyakan tanpa banyak pertimbangan.

Kita nonton di hari keempat filmnya tayang. Penontonnya tidak terlalu banyak. Kursi yang terisi tidak ada separuhnya. Tapi aku mau kalo diajak nonton lagi, hehe.

Sebelum nonton aku udah tau kalo film ini 85% scenenya hitam putih. Dari semua ulasan yang aku baca mengenai film ini semuanya sepakat bahwa film ini bagus banget. Alih-alih memberi visual yang memukau ia justru tampil dengan hitam putih bak film jadul. Dengan karakter utama pasangan usia 40 an. Dari sini saja sudah tergambar bagaimana director nya begitu berani menabrak mainstream film romance.

Di pertengahan film Dimas sempat bilang, film ini kayak ngasih kita chance buat memvisualisasikan sendiri tiap scene hitam putihnya ya. Tentu aku setuju sekali dengan itu. Script nya benar-benar bagus. Dialognya ringan tapi penuh makna. Yang awalnya aku kira bakal banyak scene mellow ternyata pecah banget komedinya. Dari mulai scene Bagus ngobrol sama Cheline dan Dion ngelipet jemuran yang masih basah sampai baju kejepit pintu mobil tuh paling ngakak sih. You have to watch it first to know the story haha.

Kemarin juga aku sengaja nanya ke Dimas pendapat dia mengenai film ini. Karena baru kepikiran mau nulis hehe.

Apa yang diomongin Dimas mostly sama kayak yang aku pikirin. Ada satu yang menarik. Sebagai orang yang suka nonton film aja dan gak terlalu ngerti perfilman aku penasaran banget sama reaksi Dimas. "Hitam putihnya ga bikin ngantuk karena pembawaan cerita yang bagus, sama ga terlalu banyak scene basa-basi jadi ga monoton walaupun hitam putih." Begitu kalimat terakhir waktu Dimas cerita experience nonton film ini.

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ini, jujur, sejak pertama kali denger judulnya aku udah tertarik buat nonton. Ya simply karena out of the box aja gitu judulnya. Dan ternyata konsep filmnya pun cukup segar. Romance tapi hitam putih. Bayangin ada scene di toko bunga yang harusnya penuh warna-warni tapi ini malah hitam putih. Dan karena storytellingnya bagus banget film ini tetap bisa dinikmati. Mungkin ada yang kurang suka sama hitam putihnya. Tapi menurutku film ini tuh ya emang harus hitam putih. Film ini menghighlight dialog antara Bagus dan Hana sebagai karakter utama. Dari situ aku jadi tau kalo relationship orang dewasa tuh begini ya.

Hana di sini diperankan Nirina Zubir. Aktingnya bener-bener keren. Tatapan kosong waktu lagi belanja di awal film itu bikin kita yang nonton bisa ngerasain sedihnya. Dan scene favoritku ada di akhir film waktu Bagus sama Hana saling menatap, itu deep banget sih.

Dari film ini aku jadi belajar bahwa kita gak bisa mendikte cara orang untuk berduka. Proses berdamai dengan kesedihan pasca ditinggalkan orang yang kita sayang itu gak pernah ada waktu pastinya. Bisa setahun, dua tahun, atau bahkan bertahun-tahun, kita gak pernah tau kapan bisa benar-benar ikhlas. Terakhir, film ini penuh dengan dialog penting yang pada akhirnya bikin kita merenungi makna cinta. Ini menjadi film Indonesia pertama yang paling berkesan buat aku sih sejauh ini.

Comments

Popular posts from this blog

Mendaki Sehari

5 Tempat Wisata Estetik di Semarang yang Wajib Dikunjungi

Solo Balapan - Yogyakarta